Toleransi dan Keberagaman di Sekolah


Saya seorang anak kampung yang berbahagia, bermain dengan ceria bersama teman-teman tanpa mengenal perbedaan. Sudah menjadi kesepakatan para leluhur kami untuk membuat perkampungan dalam balutan persaudaraan. Meskipun kami terbagi dalam kompleks perumahan muslim dan kristen, hal tersebut tak menjadi masalah untuk pola pergaulan kami. Bahkan masing-masing dari kami akan saling mengingatkan dalam hal peribadatan yang kami yakini. Pernah suatu ketika saat sedang seru-serunya bermain gobak sodor, seorang teman Kristen menghentikan permainan ketika adzan dhuhur berkumandang dan menyuruh kami yang muslim untuk pulang solat terlebih dahulu. Demikian juga sebaliknya, kami yang muslim tak segan-segan untuk mengingatkan teman Kristen jika mereka harus berlatih angklung di gereja tiap jum’at sore. Semua kami lakukan secara tulus sebagai wujud persahabatan.

Usia SD adalah masa dimana seorang anak memiliki segudang stok pertanyaan untuk hal-hal yang tidak dia mengerti. Demikian juga denganku dan teman-teman. Saat itu kami kelas 6 SD dan mulai berpikir secara menyeluruh, mengaitkan apa yang kami peroleh dari sekolah dengan kenyataan yang ada di rumah atau lingkungan sekitar. Guru kelasku seorang guru teladan yang baru pindah dari sekolah kota. Beliau memilih sekolah kami dengan niat ingin menjadikan 2 tahun sebelum masa pensiunnya sebagai sebuah tantangan untuk memajukan sekolah kampung yang ‘nothing’ menjadi lebih di kenal dan berprestasi. Benar saja, selama 2 tahun tersebut sekolah kami memperoleh banyak prestasi dari mulai peringkat rata-rata NEM tertinggi se-kecamatan, juara lomba paduan suara se-kecamatan, juara lomba baca puisi, dan berbagai lomba lainnya. Lulusan SD kami pun mulai berani bersaing mendaftar di SMP negeri yang notabene favorit dan prestisius.

Segala prestasi tersebut tidak lepas dari pola didikan pak guru yang luar biasa. Hal pertama yang beliau ajarkan adalah disiplin dan komitmen. Kami dilatih untuk wajib berbahasa Indonesia selama di lingkungan sekolah. Yaaah...meskipun awalnya kaku dan campur-campur bahasa daerah karena banyak kosakata yang tak kami tahu, tapi lama-lama kami terbiasa bahkan kadang berlagak ‘sok artis’.

Perlu diketahui, saat itu sekitar tahun ‘96 dan listrik belum masuk ke desa kami. Jadi jangan heran jika kami lambat memahami bahasa Indonesia karena kami hanya bisa nonton TV di akhir pekan dan itupun harus jalan ramai-ramai ke pusat kecamatan terlebih dahulu. Buku cetak ataupun buku bacaan di sekolahpun sangat terbatas dan hampir semuanya sudah usang. Tak jarang kami merasa beruntung jika menemukan bungkus permen, bungkus mi instan atau bungkus rokok. Tidak bosan-bosannya kami baca semua tulisan yang ada pada kemasan, kami simpan dan keesokan harinya akan kami pamerkan di kelas.

Hal lain yang guruku tanamkan kepada kami yaitu ‘kepercayaan’. Kami dilatih untuk percaya diri, meyakini akan segala potensi baik yang kami miliki, terbuka mengomunikasikan ide dan hal-hal yang tidak kami mengerti. Kami juga diajarkan untuk cinta membaca karena dengan membaca kita dapat ‘melihat dunia’. Beliau selalu sabar membimbing dan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan kami, hal-hal baru yang asing bagi kami dan yang membuat kami penasaran sehingga saat itulah saya beranggapan bahwa guru adalah seorang yang serba tahu dan serba bisa dan saya ingin seperti itu.

Suatu hari saatnya kelas kami mendapat pelajaran agama Islam dan guru agama kami menjelaskan tentang kisah nabi dan rosul. Sampailah pada pembahasan nabi Isa AS hingga berlanjut pada nabi Muhammad SAW. Mulai timbul rasa ingin tahu dalam diri kami. Usai pelajaran agama, saya dan teman-teman duduk saling berdiskusi. Tidak ketinggalan, kami ajak pula teman-teman Kristen kami untuk mencari ‘kebenaran’. Kami runut satu per satu semua nabi-nabi kami dari mulai nabi Adam. Oh ternyata sama, dan mulai berbeda sejak munculnya nabi Isa. Tapi kenapa setelah nabi Isa Islam dan Kristen beda ya? Itulah pertanyaan pertama kami. Berlanjutlah kami dengan diskusi tuhan yang disembah. Kalau Islam menyembah Allah, sedangkan Kristen selain Allah ada juga Yesus. Nah, ini juga menjadi diskusi yang tidak terpecahkan. Selanjutnya kamipun membahas tentang cara kami beribadah kenapa berbeda juga ya? Umat Islam solat setiap hari 5 waktu, sedangkan Kristen ibadah bersama setiap jum’at dan minggu. Saya tanya,”Apakah kalian tidak melakukan ibadah apapun selain di hari itu?” Oh ada banyak sekali pertanyaan yang tidak dapat kami pecahkan bersama sehingga kami putuskan untuk bertanya saja kepada guru hebat kami yang serba tahu.

Mulailah kami bertanya semua hal yang membingungkan tadi. Pak guru terlihat kaget dengan apa yang kami tanyakan, tapi Beliau memahami keseriusan dan rasa penasaran kami. Beliau menjelaskan dengan sangat santun dan penuh kehati-hatian. Beliau menjadi penengah di antara perbedaan kami dan saat itu juga kami baru tahu kalau ternyata Beliau beragama Kristen. Kami tidak tahu karena setiap mengawali ataupun menutup pelajaran Beliau selalu memberi salam “Assalamu’alaikum, selamat pagi”, atau jika memulai sesuatu Beliau biasa bilang “Bismillahirrohmanirrohim”, atau jika ada hal yang menggembirakan tak ketinggalan beliau mengucap “Alhamdulillah”. Kami mendengarkan dan menerima semua penjelasan Pak Guru dengan antusias. Kami jadi lebih saling menghormati keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Saya meyakini kebenaran agama saya, demikian juga teman saya yang meyakini kebenaran ajaran Kristen tanpa menjelekkan ajaran yang lain. Demikian seharusnya seorang guru, orang tua, dan orang dewasa, memberi pemahaman yang baik dan bijaksana tentang keberagaman dalam beragama.

Sejak saat itulah saya mulai paham bahwa ada begitu banyak perbedaan di dalam kehidupan. Standar moralitas manusia secara universal akan selalu mengharapkan hal-hal baik dan menjauhi hal-hal yang buruk. Meskipun landasan aturan hidup kita berbeda-beda, namun jika kita bisa saling menghormati dan menghargai perbedaan tersebut maka cinta damai akan senantiasa bersama kita. Tak ada istilah mayoritas ataupun minoritas, karena itu hanya menjadi sekat dan jarak yang membuat kita terpisah. Entah sejak kapan mulai munculnya rasa saling curiga sehingga membuat kehidupan bermasyarakat kita suram dan mencekam padahal dengan tersenyumpun kita bisa tetap selalu berdampingan dalam satu kesatuan.

Marilah kita bersama menjadi guru bagi anak-anak kita, guru bagi murid-murid kita, dan guru bagi lingkungan sekitar kita dengan mengajak kepada kebaikan, kebersamaan, hidup berdampingan dalam persaudaraan dan memberi kemanfaatan. Sungguh saya prihatin dengan kondisi masyarakat yang mudah terprovokasi kebencian disebabkan perbedaan. Bukankah taman dengan aneka warna bunga dan tanaman semakin menjadikannya indah dan nyaman?

Terimakasih tak terhingga untuk guruku yang mulia. Saya memohonkan doa kebaikan senantiasa atas segala nilai-nilai luhur dan rasa saling menyayangi yang telah engkau tanamkan di hati kami saat kami kecil sehingga membangkitkan kesadaran kami akan makna kebersamaan dalam keragaman. *Salam hormat untuk guruku.
LihatTutupKomentar