Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik



Pembelajaran matematika realistik memandang matematika sebagai aktivitas manusia (mathematics as human activity). Artinya bahwa matematika bukanlah suatu produk jadi yang siap pakai, melainkan sebagai suatu bentuk kegiatan dalam mengonstruksi konsep matematika. Matematika harus dekat dengan siswa dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Istilah realistik dalam PMR tidak hanya sekedar menunjukkan adanya koneksi dengan dunia nyata (real-world) tetapi lebih mengacu pada fokus PMR yang menekankan penggunaan suatu situasi yang bisa dibayangkan (imagineable) oleh siswa.

Menurut Cobb, “the reality of the students is a different reality than that of the developer/researcher” (Gravemeijer, 1994, p. 73). Siswa membangun sendiri teori mereka tentang realitas dan akan secara umum berpegang pada teori ini. Oleh karena itu dalam pembelajaran matematika realistik, pemilihan konteks harus memperhatikan karakter dan budaya siswa dalam kehidupan sehari-hari untuk menghindari perbedaan interpretasi yang mungkin terjadi. Seperti misal saat ingin mengajarkan tentang kesejajaran dua garis, pemilihan konteks 'rel kereta' api belum tentu dapat diterima oleh semua siswa jika di daerah tersebut siswa sama sekali tidak pernah melihat kereta api.

Dalam matematika realistik pembelajaran terbaik dipahami sebagai sebuah proses, bukan hasil. Proses yang dimaksud di sini lebih ditekankan pada proses matematisasi. De Lange (1987, p.43) menggambarkan: “Mathematizing is an organizing and structuring acivity according to which acquired knowledge and skills are used to discover unknown regularities, relations and structures”. Matematisasi ini terdiri dari matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal. Proses matematisasi horizontal diawali dengan pengidentifikasian konsep matematika berdasarkan keteraturan (regularities) dan hubungan (relations) yang ditemukan melalui visualisasi dan skematisasi masalah. Sedangkan matematisasi vertikal merupakan bentuk proses formalisasi (formalizing) dari model matematika yang diperoleh pada matematisasi horisontal. Kedua proses matematisasi ini tidak bisa langsung dipisahkan menjadi dua bagian besar secara berurutan, namun kedua proses ini seringkali terjadi bergantian secara bertahap (Wijaya, 2012, p. 42-43).

Prinsip Utama Pembelajaran Matematika Realistik

Gravemeijer (1994) menjelaskan tiga prinsip utama yang perlu diperhatikan sebagai pedoman dalam merancang pembelajaran matematika realistik, yaitu:

a. Guided Reinvention dan Progressive Mathematization
According to the reinvention principles, the students should be given the opportunity to experience a process similiar to the process by which mathematics was invented (Gravemeijer, 1994, p. 90). Siswa diberi kesempatan untuk membangun dan menemukan kembali ide-ide dan konsep matematis dari topik-topik yang disajikan melalui masalah kontekstual yang realistik. Bila diperlukan, guru dapat memberikan bimbingan sesuai dengan keperluan siswa yang bersangkutan. Prinsip penemuan kembali ini dapat diilhami oleh proses penyelesaian informal dan selanjutnya siswa diarahkan pada prosedur yang lebih formal. Pada proses inilah terjadi matematisasi yaitu upaya yang mengarah ke pemikiran matematis.

b. Didactical Phenomenology (Fenomenologi Didaktis)
Prinsip ini menekankan fenomena pembelajaran yang bersifat mendidik dan menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa.
According to didactical phenomenology, situations where a given mathematical topic is applied are to be investigated for two reasons: (1) to reveal the kind of applications that have to be anticipated in instruction; (2) to consider their suitability as points of impact for a process of progressive mathematization (Gravemeijer, 1994, p. 90).
Dalam hal ini konsep, aturan, cara atau sifat termasuk model matematis tidak disediakan atau diberitahukan oleh guru tetapi siswa harus berusaha untuk menemukan dan membangun sendiri model dengan berpangkal pada masalah kontekstual yang diberikan.

c. Self Developed Model (Membangun Sendiri Model)
The third principle is found in the role which self-developed models play in bridging the gap between informal knowledge and formal mathematics (Gravemeijer, p. 91). Berdasarkan prinsip ini siswa diberi kesempatan untuk menggunakan dan mengembangkan sendiri model pemecahan masalah yang sesuai dengan pengetahuannya. Tingkatan pembentukan pemahaman yang dilakukan siswa meliputi:
  1. Level situational. Pada level ini pengetahuan berkembang dalam konteks situasi masalah.
  2. Level referential. Pada level ini model dan strategi mengacu pada situasi yang digambarkan dalam permasalahan. Siswa membuat model dari situasi yang dikenal dengan model of.
  3. Level general. Pada level ini, model yang dikembangkan siswa mengarah pada pencarian solusi matematis yang dikenal sebagai model for.
  4. Level formal. Pada level ini, siswa bekerja dengan prosedur konvensional dan notasi.

Gambar Level pada Self-developed models
(Sumber: Gravemeijer, 1994, p. 102)

Pada PMR, model terletak di antara level situasional dan formal. Model ini terbagi menjadi dua yaitu model of dan model for (Gravemeijer, p. 101-102). Selama proses belajar mengajar siswa diberikan kesempatan untuk membangun sebuah model dari (model of) situasi masalah yang dikenalinya. Model yang dibangun tersebut kemudian menjadi suatu kesatuan nyata bagi siswa melalui proses generalisasi dan formalisasi. Selanjutnya model tersebut digunakan sebagai model untuk (model for) menemukan konsep matematika dan memecahkan masalah.

LihatTutupKomentar