Mendidik Generasi Milenial yang Merdeka

    Kata pendidikan selalu terkait erat dengan sebuah instansi dan pelaku pendidikan itu sendiri. Sekolah sebagai suatu wadah yang menaungi dan menjadi tempat pendidikan harus bisa memberikan suasana nyaman dan kondusif, demikian juga dengan guru. Guru harus mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi siswa selama berinteraksi di sekolah maupun saat proses pembelajaran.
Sebuah proses pembelajaran sangat ditentukan oleh guru. Sukses tidaknya ketercapaian kompetensi tergantung dari bagaimana cara guru mengemas suatu pembelajaran. Lalu, pembelajaran seperti apakah yang bisa membuat siswa merasa nyaman namun tetap memberikan dampak yang optimal?
    Sebagian besar pendidik di sekolah memiliki cita-cita yang cukup sederhana yaitu : siswa patuh di kelas, cakupan materi terselesaikan, KKM terpenuhi, dan siswa mendapatkan nilai ujian yang tinggi. Tentu saja hal ini berdampak pada cara mengajar guru yang hanya melakukan transfer of knowledge, banyak mendominasi siswa dengan ceramah dan pemberian soal-soal, serta berorientasi pada hasil semata. Tidak dipungkiri jika banyak yang beranggapan bahwa sekolah ibarat pabrik yang mencetak siswa berbasis angka sebagai outputnya. Apakah ini sudah cukup untuk menjawab tantangan generasi di abad milenial seperti sekarang ini?
    Pendidikan sejatinya menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya tanpa mengabaikan pengaruh-pengaruh yang melingkunginya. Artinya pendidikan itu mengarahkan, memberikan tuntutan kepada anak untuk mencapai tertib damainya kehidupan dengan tetap memperhatikan budaya dan nilai-nilai di sekitar. Secara sederhana, untuk mencapai tujuan pendidikan secara optimal maka diperlukan kemerdekaan belajar baik oleh guru maupun pada siswa. Yaitu pembelajaran yang berkomitmen pada tujuan, mandiri, jauh dari paksaan dan tekanan serta reflektif.
    Pembelajaran yang berkomitmen pada tujuan berarti antara guru dan murid memiliki pandangan yang sama tentang tujuan yang akan dicapai. Tujuan ini bukan hanya sebatas ketercapaian kompetensi, namun bisa bersifat luas sesuai dengan relevansinya dalam kehidupan sehari-hari siswa. Dengan demikian guru harus menekankan pentingnya motivasi internal siswa dalam belajar, bukan hanya sebatas nilai atau ranking.
    Pembelajaran yang mandiri artinya guru tidak menciptakan ketergantungan. Seringkali guru memandang rendah kemampuan siswa sehingga terlalu banyak memberikan bantuan dan petunjuk. Hal ini membuat siswa tidak terbiasa untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi. Guru bisa memberikan bantuan (scaffold) secara bertahap untuk memancing rasa ingin tahu dan kreatifitas siswa sehingga pada akhirnya siswa bisa memecahkan sendiri permasalahannya. Dalam hal ini guru berperan sebagai fasilitator yang mengarahkan siswa seperlunya saja sesuai dengan semboyan tut wuri handayani.
    Pembelajaran yang merdeka juga berarti pembelajaran yang jauh dari memerintah siswa dengan paksaan atau tekanan. Mendidik dengan ketakutan tidak akan menimbulkan respek karena jelas berbeda antara ketegasan dan ketakutan. Dengan rasa takut, siswa tidak selalu mengetahui alasan riil mengapa mereka tidak boleh melakukan sesuatu. Mereka menghindari perbuatan itu hanya karena takut dibentak, dihukum, atau dipermalukan. Maka ajaklah siswa untuk berpikir dengan penuh kesadaran tentang alasan, manfaat, ataupun konsekuensi dari setiap pilihan/perbuatan mereka. Hal ini akan bermanfaat bagi perkembangan karakter mereka saat menghadapi permasalahan pada kehidupan sehari-harinya.
    Selain beberapa hal di atas, guru sebaiknya membiasakan untuk melakukan kegiatan refleksi. Refleksi ini tidak mudah karena selain membutuhkan keterampilan berpikir juga butuh sikap berani berada pada kondisi yang tidak selalu nyaman. Guru bisa memvariasikan pertanyaan dalam proses belajar, mendokumentasikan proses dan hasil belajar, maupun melibatkan siswa dalam praktik assesmen termasuk memberikan kesan ataupun masukan atas pembelajaran yang telah dilakukan oleh guru. Dengan demikian akan tercipta pola keterbukaan dan saling percaya antara guru dan siswa.
    Kemerdekaan belajar juga berlaku bagi guru. Guru harus menyadari peran sentralnya dalam pendidikan perlu didukung oleh kualitas dirinya yang selalu di up grade. Akan sangat aneh jika kita sebagai guru meminta siswa untuk belajar namun kita sendiri enggan belajar. Guru semestinya menjadi contoh (tuladha) bagi siswa dalam bersikap maupun berperilaku karena belajar itu bukan milik siswa yang bersekolah saja, namun belajar itu harus selalu bersama kita selama kita bernafas, sepanjang hayat kita.
LihatTutupKomentar