Max Havelar dan Pembelajaran Sejarah di Sekolah

Semasa sekolah dulu saya tidak ada bayangan sama sekali tentang apa dan siapa itu Max Havelar padahal dalam pelajaran sejarah banyak disebutkan tentang karya Multatuli atau Eduard Douwes Dekker ini yang konon menjadi pemicu munculnya Politik Etis sebagai usaha Belanda “membayar” hutang mereka atau balas budi kepada pribumi. Saya cukup yakin seandainya dilakukan survey pun pasti banyak orang yang juga sama tidak mengertinya seperti saya tentang apa dan siapa itu Max Havelar.

Saya tertarik menulis tentang Max ini dikarenakan ‘rasa geli’ kenapa saya baru ‘ngeh’ kalau Max Havelar itu adalah karya fiksi berupa novel yang mengangkat cerita tentang Max itu sendiri. Kisahnya dikemas dengan bahasa yang indah, sopan tapi menohok, cerdas dan yang pasti menunjukkan kecerdikan sang penulis dalam menyampaikan fakta dan sindiran secara halus namun tajam. Rasa takjub saya semakin bertambah saat membaca kisah-kisah yang ada di dalamnya, betapa Multatuli ini memahami dengan baik bagaimana adat istiadat, tradisi, sifat, dan keadaan tentang masyarakat Indonesia pada umumnya dan Jawa pada khususnya padahal beliau sendiri adalah pendatang asing. Apa yang dituliskan benar-benar sesuai dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan.

Sisi kemanusiaan yang diangkat sangat menyentuh dan tepat untuk menggugah rasa iba dan curiga serta mampu menembus sekat ‘agama’ dan bangsa dikarenakan kehalusan perasaan penulis dalam memaknai setiap keadaan. Sangat wajar jika buku ini mampu mengusik nurani dan ‘mempermalukan’segala kesombongan, keangkuhan, serta penindasan. Keberanian dan kejujuran yang melekat pada Max sungguh patut untuk dicontoh. Dukungan dari sang istri semakin meneguhkan perjuangan dan tekad Max dalam melaksanakan tanggungjawabnya meski berbagai ancaman datang menerpa.

Lemah lembut bukan hanya milik orang Jawa, kehormatan bukan hanya hak para orang kaya, dan pribadi yang welas asih bukanlah cerminan penganut agama tertentu saja, akan tetapi orang-orang yang memiliki hati penuh cinta kasihlah yang dapat benar-benar berempati kepada kebenaran serta mampu menyatu dengan alam dalam kerendahan hati.

Sebagai orang awam, buku terjemahan yang diterbitkan Qanita ini sangat bagus, bahasanya mudah dipahami dan luwes. Saya sangat bersyukur dapat dipertemukan dengan buku ini. Mengingat sekarang ini budaya literasi semakin digalakkan, saya sangat berharap sekolah dapat menyediakan bacaan bermutu yang dapat mengintegrasikan pemahaman formal yang diperoleh siswa dengan pengetahuan dan pengalaman lain yang saling terkait sehingga nantinya kegiatan belajar menjadi penuh makna. Guru harus lebih cerdik dalam menyampaikan materi, mampu mengaitkannya dengan kehidupan nyata dan kebermanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari agar mampu membentuk karakter siswa itu sendiri.

Saya ingat betul waktu sekolah dulu, betapa membosankannya pelajaran sejarah. Meskipun saya suka membaca tetapi ketika ulangan harian soal yang diberikan kebanyakan adalah hafalan (seperti tanggal kejadian perkara) sehingga otomatis apa yang dibaca seolah menjadi tidak berguna. Saya jadi teringat kata-kata Bung Karno, “Jas Merah” jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Apakah yang dimaksud oleh Bung Karno ini adalah agar kita mengingat sejarah sekedar sebagai hafalan ataukah lebih pada memaknai tentang sejarah itu sendiri? Yang pasti satu saran saya, perbanyaklah membaca. Karena membaca sama dengan memberi nutrisi bagi rohani dan mental kita. Sebaik apa kita menyiapkan santapan yang sehat dan bergizi, itulah tanggungjawab terhadap diri kita masing-masing.

LihatTutupKomentar